Assalamualaikum
Wr Wb.
Salam Jumpa
ketemu lagi dengan saya, udah lama saya ngak publish Fic di fanfiction.net jadinya
saya membuat blog yang memuat beberapa Fic lama saya (Bilang aja lupa cara
publish) hehe... cerita fiksi ini saya revisi dari Fic Bersama Bintang dengan
pemeran utamanya Pain dari klub malam*Plak!* eh maksudnya Leader Akatsuki. Saya
hanya merubah namanya doang, jadi jangan bilang saya plagiat yah, karna Author
The Portal Transmission-19 itu adalah saya sendiri
Title: Bersama
Bintang
Diskliminer Of Character: Masashi Kishimoto Sensei
Diskliminer Of Character: Masashi Kishimoto Sensei
Diskliminer
Of Story : Isratul Muslimin Tehangga
Author: The Portal Transmission-19 (Its Me)
Language: Indonesian
Genre:
Family/Hurt/Comfort
Published: 05-30-11, Updated: 05-30-11 –revisi 25-September-2015
Published: 05-30-11, Updated: 05-30-11 –revisi 25-September-2015
Chapter 1:
Chapter 1
Bacalah,
semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Warning :
Typo.
Sumarry :
Aku tahu, aku orang yang tidak berguna, aku orang yang lemah. tapi, aku akan
berusaha, bagaimanapun caranya, asalkan, aku dapat membuat ibuku tersenyum
bangga padaku.
Bersama
Bintang
"Pein,
kaulah satu-satunya harapan ibu, nak," kalimat itu selalu terngiang di
telingaku, kalimat yang dilontarkan seorang wanita paruh baya, wanita yang
cantik, wanita yang sudah melahirkanku. Dialah ibuku, Uzumaki Kushina.
Aku berusaha
bangkit dari meja bilyard, meja yang kupakai untuk berbaring. Kutatap disebelah
kananku, dan kulihat temanku, Itachi Uchiha, sedang duduk santai sambil
menghisap rokoknya, Ditemani beberapa anggota geng yang juga melakukan hal yang
serupa. Merokok, minum alkohol.
Kuabaikan
sapaan Hidan, temanku yang memaksaku untuk ikut bergabung meminum minuman
keras. Kuraba saku celanaku, dan kuambil bungkusan dari kertas yang berwarna
kuning, rokok Dji Sam Soe, rokok kesukaanku. Kubakar dan kuhisap dengan
penghayatan.
"Pein,
kaulah satu-satunya harapan ibu, nak," Sekali lagi, kalimat itu melintas
di benakku, membuat hati ini terus merasakan kegelisahan. Hatiku tidak tenang
ketika mengingatnya.
Uzumaki
Pein, itulah namaku. Ayahku bernama Namikaze Minato, seorang ayah yang bekerja
sebagai militer di desa Konoha, desa tempat tinggalku sekarang, sedangkan
ibuku, Uzumaki Kushina, seorang ibu rumah tangga biasa, akan tetapi, dia adalah
seorang wanita yang hebat menurutku. Aku mempunyai dua orang adik, yang pertama
adalah Naruto Uzumaki, dan yang kedua adalah Uzumaki Konohamaru.
Sekarang,
aku sedang berada di tempat berkumpulnya anggota geng kami. Akatsuki, itulah
nama geng kami, geng yang mempunyai motto 'Tidak boleh menghentikan pertarungan
sebelum ada yang cacat atau mati,' sehingga tak heran jika geng kami ditakuti
orang-orang.
Alasanku
masuk ke geng ini adalah karena aku tidak mau menuruti kemauan orang tuaku,
yaitu mereka ingin aku menjadi seorang anggota militer dengan alasan ingin
melanjutkan karir ayahku.
Berhari-hari
aku selalu bertengkar dengan ayahku, sampai-sampai aku tidak lagi menganggapnya
sebagai seorang ayah. Aku menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus
kumusnahkan dari muka bumi, tapi aku tak sanggup melakukannya, aku tak sanggup
melukainya, karena aku sadar bahwa sejelek-jelek apapun dia, dia tetap ayahku,
karena tanpa ayahku, aku tak mungkin lahir kedunia ini. Dan tanpa dia, aku
tidak mungkin tumbuh besar hingga sekarang ini.
Berbulan-bulan
aku mempertahankan keegoisanku, hingga suatu hari, aku direkrut oleh Uchiha
Itachi, yang mengajakku untuk bergabung dalam anggota Akatsuki.
Sejak saat
itu, aku jarang pulang ke rumah, bahkan hampir tidak pernah, entah sudah berapa
lama aku tidak pulang ke rumah, aku lupa.
Yang kuingat
terakhir kali adalah tangisan ibuku, yang memintaku untuk tidak pergi dari
rumah. Tapi aku tidak menghiraukannya, walau air mata ibuku sudah keluar selama
berjam-jam, tapi aku tetap bersikeras untuk meninggalkan rumah.
Bahkan,
sempat ku tampar Konohamaru karena menghalangi jalanku, aku sempat merasa
bersalah, karena mengingat adikku Konohamaru baru berusia sepuluh tahun. Tapi
aku tetap bersikap tidak terjadi apa-apa, karena inilah jalanku. Dan aku tidak
mungkin kembali.
Tapi ada
yang lebih membuatku semakin ingin meninggalkan rumah, yaitu ayahku, dimana aku
akan pergi, dia malah mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaanku.
"Pergilah,
dan jangan pernah kembali, atau kubuat satu lubang lagi di kepalamu untuk
bernafas,"
Sejak saat
itu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan menginjak rumah itu lagi.
Bersama
Bintang.
Waktu itu,
adalah hari dimana aku sudah dua bulan meninggalkan rumah, aku sendirian di
base Akatsuki, ditinggalkan para anggota lain yang sedang pergi berpesta di
desa Suna, aku bosan di sini, apalagi rokokku hanya tinggal sebatang, aku
keluar dari base untuk membeli rokok, ketika aku mendengar ada suara seorang
wanita paruh baya yang berteriak meminta tolong.
Kuedarkan
pandanganku ke segala pejuru untuk mencari asal suara itu, dan kutemukan, tidak
jauh dariku, seorang wanita yang sedang dikepung oleh beberapa orang di tengah
kegelapan malam.
Aku memang
seorang preman, tapi aku juga manusia, punya belas kasihan. Tanpa aba-aba, ku
serang beberapa preman itu, dibantu sebilah sangkur yang aku curi dari ayahku,
dan beberapa menit saja, aku bisa mengalahkan mereka.
Setelah ku
rasa para preman itu sudah pergi, aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat
itu, walau tanpa pamit kepada sang korban.
"Pein,"
langkahku terhenti, mendengar suara yang sangat familiar bagiku, kutengok ke
arah suara itu.
Mataku
terbelalak, ketika kudapati siapa yang memanggil namaku barusan, yang ternyata
orang yang sangat kurindukan selama ini, orang yang sangat aku sesali tuk ku
tinggalkan, orang yang membuat hatiku begitu damai ketika bersamanya. Dialah
Ibuku.
Aku terdiam
di depannya, tak kuhiraukan lenganku yang masih meneteskan darah segar akibat
pertarungan tadi.
"Nak,
pulanglah nak, ibu merindukanmu," dapat kulihat dengan samar dalam
redupnya cahaya malam hari, air matanya mengalir, membasahi kulit wajahnya yang
sudah mulai berkeriput.
Aku
pura-pura menghiraukannya, walau dalam hatiku, ingin ku peluk tubuh yang rapuh
itu.
"Pein,
Kaulah satu-satunya harapan ibu, nak," Katanya dengan sendu memandang
punggungku yang semakin menjauh.
Bersama
Bintang
Sejak saat
itu, aku selalu memikirkannya, air mata, tangisan, harapan, yang dilontarkan
wanita tua renta itu. Entah apa yang merasuki jiwaku sekarang, aku
merindukannya. Aku rindu pelukan hangatnya, aku rindu harum tubuhnya yang
sederhana, aku rindu akan tatapan matanya yang sendu, aku rindu akan sapuan
lembut tangannya, aku rindu akan perhatiannya ketika aku sedang sakit, aku
rindu ibuku.
Kulihat
teman-teman Akatsuki sedang mempersiapkan senjata mereka masing-masing, dan
beberapa keperluan untuk bertarung, memang, geng Orion selalu mencari masalah,
dan hari ini, kami akan bertarung dengan mereka.
Setelah
semuanya sudah siap, kami keluar dari base kami, dan pergi ke perbatasan
fakultas konoha yang tak jauh dari base kami, tempat kami akan tawuran.
Bersama
Bintang
Pecahan
botol minuman tak lepas dari tanganku, aku terus menyerang pria di depanku
dengan membabi buta, akan tetapi, dengan lihainya dia dapat menghindar dari
seranganku, sampai ketika aku lengah, dia menghantam pipiku dengan tangan
kosong, menyebabkan aku jatuh terjerembab.
Sungguh,
emosiku memuncak saat itu, didukung pukulannya yang mengenai gigiku yang sedang
sakit karna berlubang, tanpa aba-aba lagi, aku berdiri dan melemparkan pecahan
botol minuman di tanganku ke wajahnya, sekali lagi, dia dapat menghindari
dengan cara menunduk. Akan tetapi…
Aku
benar-benar manusia yang paling biadap di dunia ini, kakiku gemetar, jantungku
bekerja dengan sangat cepat, kupandangi seorang nenek tua renta, yang terbaring
di jalanan, dengan pecahan botol yang menancap dengan sempurna di lehernya,
darah mengalir dengan sangat deras dari leher dan mulutnya.
Kupandangi
sekeliling, yang kulihat hanyalah lawan bertarungku yang tengah sekarat di
jalanan akibat serangan emosiku tadi, dan beberapa temanku masih asik dengan
pertarungan mereka, tanpa pikir panjang, ku gendong nenek tua itu ala bridle
style, yang sebelumnya sudah kucabut pecahan botol tersebut dari lehernya.
Bersama
Bintang
"Dokter!
Di mana dokter?" Aku berteriak dengan bringas di depan pintu rumah sakit,
tentu saja bersama si nenek yang masih berada dalam gendonganku, dan beberapa
detik saja, para suster di rumah sakit tersebut sudah kalang kabut
mempersiapkan segala keperluan untuk menolong si nenek yang sedang sekarat ini.
Kubaringkan
nenek tersebut di atas bangsal yang sudah dipersiapkan para suster, dan tanpa
dikomando, mereka segera membawanya ke ruangan UGD. Meninggalkanku yang masih
dalam keadaan gelisah dan bersalah.
Sudah lima
belas menit aku sendirian di ruang tunggu, menanti sang nenek malang yang
sementara diperiksa oleh dokter di UGD, entah malaikat apa yang sudah merasuki
diriku ini, aku yang dikenal sebagai seorang 'Dewa Perang ' oleh kawan maupun
lawan, yang dikenal tak punya belas kasihan, kini sedang gelisah menanti korban
hasil keganasan tanganku ini.
Dan tak lama
kemudian, dokter yang memeriksa nenek itu pun keluar dari ruangan UGD, tak
menunggu lama, aku segera menghampiri dokter tersebut dengan cemas, menanti
hasil pemeriksaan yang kuharap akan baik hasilnya.
Bersama
Bintang
Pukul lima
sore, dan sekarang, aku sedang duduk di samping ranjang tempat nenek itu
terbaring, tak perduli kata orang-orang yang menggunjing seraya memandang sinis
ke arahku, aku tak memperdulikan mereka, yang kupedulikan hanyalah wanita tua
renta yang sekarang sedang terbaring lemah di hadapanku.
Menanti, aku
masih menanti dengan setia di samping ranjang ini, menanti sampai nenek itu
siuman, hanya sekedar meminta maaf padanya, yang mungkin mustahil untuk bisa
dimaafkan.
Sekarang
sudah pukul tujuh malam, dan nenek itu belum juga siuman, tapi aku masih
bersabar untuk menantinya. Entah mengapa aku bisa menunggu seseorang sampai
berjam-jam seperti ini, padahal, aku sangat tidak suka menunggu seseorang,
apalagi menunggu seseorang yang entah siapa dia dan kapan dia akan siuman,
kupandangi wajah nenek itu, wajah yang penuh dengan keriput, akan tetapi
terkesan damai di mataku, rambutnya pun penuh dengan uban, mengingatkanku pada
seseorang, yang tak lain adalah…
Ibuku.
Tanpa sadar,
aku menitikan air mata, dalam benakku, bagaimana seandainya jika sosok di depan
mataku ini adalah sosok ibuku sendiri? Tubuhku bergetar, aku menangis dalam
diam, menatap sendu sosok nenek tua renta yang terbaring lemah di hadapanku, Ya
Tuhan, kenapa aku begitu kejam? Melukai orang yang tidak bersalah, apa aku
masih pantas untuk dikasihani? Apa aku pantas dimaafkan? Apa aku pantas hidup
di dunia ini? Sungguh! Aku bahkan jijik dengan diriku sendiri.
Kutundukan
kepalaku, memikirkan semua kesalahan yang pernah aku lakukan pada keluargaku,
termasuk pada ibuku. Dan akupun kembali larut dalam tangisan. Akan tetapi, aku
terkejut ketika ada sebuah tangan yang mengelus kepalaku dengan lembut,
kuangkat kepalaku, dan kudapati nenek itu kini tengah menatapku sambil…
Tersenyum?
Sungguh, aku
tidak mengerti, aku sudah melukainya, membuat dia menderita, dan aku kira dia
akan menyumpahi aku setelah dia siuman, tapi apa yang kulihat adalah
sebaliknya, dia tersenyum padaku? Pada orang yang hina sepertiku?
Tak menunggu
waktu lama, kugenggam tangannya yang lemah dengan lembut kucium sekilas,
menghirup aroma khas dari tangannya, masih dengan air mata, kuucapkan kalimat
yang sedari tadi ingin aku katakan.
"Nek,
aku minta maaf, aku menyesal, nek,"
Aku tak
sanggup menatap matanya, aku malu, akan tetapi, nenek itu mengangkat kepalaku
dengan sebelah tangannya, mengarahkan pandangan mataku agar sejajar dengan arah
penglihatannya, kulihat dia tersenyum padaku, senyum yang ikhlas, senyum yang
tulus khas seorang ibu, dan yang terakhir kulihat adalah, dia megangguk, apa
maksudnya? Apa aku dimaafkan? Tapi kenapa? iblis sepertiku mudah sekali
dimaafkan?
Ingin
kutanyakan, kenapa dia dengan mudah memaafkanku, akan tetapi aku terlambat, dia
kembali menutup mata, bukan karena dia tertidur lagi, tapi, dia menutup matanya
untuk selama-lamanya.
Pukul dua
pagi, dan sekarang aku sedang berada di depan sebuah bangunan bercat hijau tua,
bangunan yang sudah lama aku tinggalkan, yaitu rumahku sendiri. Kumasuk kedalam
rumah itu melalui pintu belakang, dimana aku ingat bagaimana cara membukannya.
Sekarang aku
sudah berada di dalam ruang tamu, masih seperti dulu tatanan dan letak
perabotnya. Kututup mataku sejenak sekedar untuk mengingat masa-masa laluku
yang indah bersama ayah, ibu, dan adik-adikku, dan sekali lagi, air mataku
menetes.
Kulangkahkan
kakiku menuju sebuah kamar, kamar yang aku ingat adalah kamar orang tuaku, dan
kini, aku sudah berada di depan pintu kamar orang tuaku, kutarik nafas
dalam-dalam, dan kuhembuskan kembali, setelah itu, aku membuka kenop pintu
kamar tersebut secara perlahan-lahan, takut membangunkan penghuni kamar
tersebut.
Masih
seperti biasanya, kamar itu selalu terang, dan aku dapat melihat seorang wanita
paruh baya yang tengah tertidur, aku melangkah secara perlahan kearah sosok
yang tertidur itu.
Kutatap
wajah cantik ibuku, wajah yang sudah mulai berkeriput, kantung mata yang
menghitam, mungkin karena kurang tidur, dan sekali lagi, aku menangis
melihatnya. Kuelus lembut rambutnya yang sudah memutih, dan kukecup keningnya
sekilas hingga akhirnya…
Tiba-tiba,
tubuh itu bergerak, matanya pun mulai terbuka secara perlahan-lahan, dan tak
lama, mata yang sendu itu terarah padaku, kulihat matanya membulat tidak
percaya akan apa yang dilihatnya sekarang, aku tidak berbicara sepatah katapun,
membuat kami saling tatap dalam waktu yang lama, hingga akhirnya, dia bangun
dari tempat tidurnya dan memeluk tubuhku secara tiba-tiba, dan tangisannya pun
pecah dimalam yang kelam itu.
Bersama
Bintang
( 9 Tahun
Kemudian )
Kini, aku
sedang berdiri di atas panggung wisuda, memegang sertifikat penghargaan atas
prestasiku. dimana aku mendapat gelar resmi Sp. PD. Gelar untuk Dokter
Spesialis Penyakit Dalam, kulihat dibawah panggung, dapat kulihat ibuku,
menatap haru sekaligus bangga kearahku, tak dapat dipungkiri lagi, air mata
ibuku menetes.
Dan kini,
tiba saatnya aku untuk menyampaikan sepatah kata untuk ribuan hadirin karena
prestasi yang aku raih, sebelum itu, aku meminta ibuku untuk naik ke atas
panggung.
Kira-kira
lima belas menit berlalu, aku sudah selesai dengan pidatoku, tapi sebelum itu,
aku ingin menutup pidato ini dengan sesuatu yang tak biasa, kulangkahkan kakiku
tepat di depan ibuku, dan...
Seketika,
ruangan ini menjadi sunyi senyap, para hadirin di tempat ini terkejut dan
menatap penuh haru ke arahku, bahkan ada pula yang menangis menyaksikan adegan
yang aku lakukan, dimana aku bersujud di kaki ibuku, disaksikan ribuan orang di
ballroom tersebut.
"Maafkan
aku, ibu, maaf," kataku tepat di depan mic dan masih dengan posisi
bersujud di kaki ibuku.
Tak lama
kemudian, aku dituntun oleh ibuku untuk berdiri, dan dapat kulihat dengan jelas
air matanya mengalir, ibuku menangis tersedu-sedu di depanku, dan akhirnya dia
berkata.
"Terima
Kasih, nak, ibu bangga padamu," dan dia pun memeluk tubuhku, dan disertai
dengan tepuk tangan meriah dari ribuan orang di ruangan tersebut.
Bersama
Bintang
Itulah kisah
hidupku, penuh dengan lika-liku, dimana aku harus menderita batin selama
bertahun-tahun. Dan kini, aku sedang berada di ruanganku, ruang kerja pribadi,
sebagai seorang dokter dalam Sp. PD Uzumaki Pein.
Oh ya,
sebelumnya maaf, aku baru kedatangan seorang pasien lagi setelah diberi tahu
oleh asistenku, setelah dipersilahkan masuk, munculah seorang wanita berambut
biru dengan hiasan bunga di kepalanya. Dan kepalaku terasa panas ketika
melihatnya, jantungku juga berdetak tidak karuan, penyakit apa ini? memang aku
seorang dokter, tapi gejala penyakit ini tidak pernah aku tahu sebelumnya.
Gejala penyakit baru kah?
"Dokter,
dokter kenapa?" Sapanya dengan lembut membuyarkan lamunanku.
"Eh?
Hehe, tidak kok, boleh minta nomer hapenya?"
"Buat
apa?"
"Hanya
ingin PDKT saja,"
*Blushhh!*
Dan
Kehidupan baru, dimulai sekarang.
OWARI
Masukan
Pendapat Anda tentang Cerita Fiksi Ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar